JAKARTA - Upaya untuk membentuk opini bahwa Anies gagal memimpin DKI Jakarta dilakukan secara sistemik, terstruktur dan masif. Sistemik, karena dilakukan dengan terencana dan menggunakan berbagai strategi. Terstruktur, karena dilakukan melalui semua akses struktural yang dimiliki. Masif, karena upayanya terus menerus, dengan semua cara, dan tak kenal lelah.
Ada dua pertanyaan terkait penjegalan terhadap Anies. Pertama, apa motif dan tujuan menjegal Anies? Ini sekaligus berkaitan dengan siapa-siapa penjegal Anies tersebut. Kedua, bagaimana cara menjegal Anies?
Baca juga:
Tony Rosyid: Berebut Anies Baswedan
|
Tujuan menjegal Anies pertama, punya motif politik. Intinya Anies gak boleh jadi presiden. Ucapan salah satu Ketum partai baru-baru ini, juga sejumlah buzzer yang videonya sempat viral, seperti menegaskan bahwa Anies gak boleh jadi presiden. Potensi Anies untuk nyapres di 2024 cukup menggelisahkan sejumlah pihak.
Mereka tidak menerima Anies, karena Anies diyakini dapat menggeser "kekuasaan" yang selama ini mereka nikmati. Hal yang lazim dalam sejarah bahwa tak ada yang mau lengser dan kehilangan nikmatnya kekuasaan. Akan beruapay sekuat tenaga mempertahankannya. Anies juga "dianggap" tidak bisa berkompromi dan mengakomodir mereka jika berkuasa.
Bukankah berpolitik itu tidak selalu harus mengambil jalan bermusuhan? Tidakkah berpolitik itu juga memberi jalan kompromi, win-win solution? Bukan untuk saling mengalahkan dan menjatuhkan?
Kalau lawan sudah dianggap abadi, ini berpotensi akan terjadinya benturan. Ini bukan cara berpolitik yang rasional, tapi emosional. Bukan berkompetisi lagi, tapi bermusuhan. Ini akan melahirkan proses demokrasi yang tidak sehat, dan bahkan suram. Persaudaraan dalam berbangsa lambat laun akan hilang, karena satu dengan yang lain hanya punya semangat menjatuhkan dan menghancurkan.
Kedua, lunya motif ekonomi. Mereka melihat bahwa Anies tak bisa diajak kompromi untuk mencuri harta milik negara. Kasus 13 pulau reklamasi yang ditutup Anies, adalah contoh konkret bahwa Anies tidak bisa diajak kompromi untuk hal-hal yang melanggar aturan dan berpotensi merugikan negara.
Ada istilah "maling teriak maling". Ada banyak orang yang berupaya membuat opini bahwa Anies maling, padahal mereka adalah para maling yang sekarang sedang kesulitan untuk maling di DKI Jakarta. Mereka teriak Anies korupsi, padahal mereka adalah para koruptor yang susah untuk korupsi selama gubernurnya masih Anies. Narasi ini memang terkesan kasar, tapi harus diungkap ke publik demi alasan obyektifitas dan pembelajaran moral-politik kepada rakyat. Kita ingin rakyat tidak tersesat karena rekayasa opini yang berlebihan.
Ketiga, motif psikologis. Menjegal Anies hanya untuk memberi kepuasan psikologis. Kalau Anies gagal, mereka puas. Hanya itu. Dan mereka adalah orang-orang yang di pilgub DKI Jakarta tidak mendukung Anies, tersandera "isu politik identitas", atau ada perbedaan tajam dengan sejumlah kelompok yang selama ini mendukung Anies. Yang ketiga ini lebih bersifat emosional, bukan rasional.
Lalu, apa yang mereka lakukan untuk menjegal Anies? Pertama, Jegal semua program dan kebijakan yang potensial membesarkan nama Anies. Formula E misalnya, ini seksi kalau bisa dibatalkan. Dengan dibatalkannya ajang balap Formula E, maka Anies akan otomatis tertuduh sebagai pihak yang menghilangkan uang negara berupa komitmen fee. Ajang balap Formula E batal, Anies akan jadi bulan-bulanan dan pusat tuduhan. Seksi sekali.
Kedua, Anies harus selalu diopinikan gagal dan salah. Pokoknya, Anies tidak boleh sukses dan benar di mata publik. Apapun hasil kerja Anies, harus ada "narasi kontra". Apapun prestasi dan penghargaan yang diterima Anies harus didelegitimasi. Narasi "Anies menghamburkan APBD untuk membeli banyak penghargaan" adalah contoh upaya delegitimasi itu.
Ketiga, mereka yang punya akses hukum akan menggunakan jalur hukum untuk terus mencari celah kesalahan yang bisa mempidanakan Anies.
Keempat, Serang dan demo Anies secara masif agar ada kesan ke publik bahwa Anies tidak disukai oleh rakyatnya sendiri, dalam hal ini adalah warga Jakarta. Di depan kantor balaikota Jakarta, hampir setiap pekan ada 30-50 orang demo. Hampir setiap pekan bro!
Ini semua akan bergantung kapada kesadaran rakyat, mampukah rakyat tetap jernih dan memiliki kesadaran dalam melihat hiruk pikuknya ruang publik yang dijejali dengan informasi dan opini yang tidak berangkat dari fakta dan cenderung menyesatkan.
Jika orang-orang waras di negeri ini selalu hadir dan mengambil peran untuk menjernihkan ruang publik yang sudah sangat keruh itu, maka rakyat akan memiliki pandangan yang lurus, benar, obyektif dan apa adanya. Termasuk melihat dengan jernih orang-orang seperti Anies. Melihat sebagaimana adanya, sesuai data dan fakta, bukan dalam potret kontra opini dan mis-informasi. Anies adalah Anies dengan semua hasil kerjanya yang bisa dilihat, dirasakan dan dibuktikan, bukan Anies sebagaimana pendapat mereka yang emosional dan sarat kepentingan politik dan ekonomi.
Jakarta, 29 Desember 2021
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa