POLITIK - Di tengah hiruk-pikuk kampanye pemilihan bupati, posko pemenangan calon bupati Ramlan semakin padat dipenuhi oleh tim sukses yang bekerja siang malam. Namun, hari itu suasana bukannya penuh dengan semangat kolaborasi, melainkan dipenuhi oleh ketegangan yang semakin mendidih.
Semua bermula ketika Rahmat, koordinator lapangan, tiba-tiba melampiaskan amarahnya kepada Jaka, koordinator media sosial. "Jaka! Gue udah bilang dari kemarin, tim lo ngaco! Itu janji buat door-to-door kampanye digital sampai sekarang belum dikerjain juga! Hari H tinggal seminggu, lo mau nunggu apa lagi?!" Rahmat berteriak dengan penuh emosi, sambil menunjuk-nunjuk Jaka yang sedang duduk di pojok, asyik dengan laptopnya.
Jaka yang dari tadi diam saja, mendadak berdiri. "Lo pikir kerjaan gue cuma duduk manis? Tim lo sendiri bahkan nggak ada laporan soal logistik! Banyak spanduk belum terpasang di desa-desa, padahal dana udah keluar! Gue bukan orang lapangan kayak lo, gue pegang medsos, dan medsos kita udah gencar sejak kemarin, tapi apa gunanya kalo di lapangan berantakan!" balas Jaka dengan wajah menantang.
Ruangan yang semula dipenuhi oleh gemericik suara orang mengetik dan berdiskusi, mendadak terhenti. Semua kepala menoleh ke arah Rahmat dan Jaka yang mulai saling tunjuk, adu argumen di tengah posko. Beberapa relawan lain berbisik-bisik, merasa suasana makin memanas.
"Jangan coba-coba ngelimpahin kesalahan ke gue, Rahmat. Gue kerja sesuai arahan. Kalo tim lapangan lo gagal ngurus logistik, itu bukan urusan gue!" lanjut Jaka, kini dengan nada semakin keras.
"LO NGOMONG APA, HAH?!" Rahmat tak mau kalah, wajahnya merah padam menahan marah. "Lo pikir media sosial doang yang bisa naikin suara? Biarin aja lo nge-post tiap menit, tapi kalo di lapangan kosong, lo mau dapet suara dari mana? Mending lo diam kalo kerjaan lo nggak bener!"
Baca juga:
Campuri Urusan Dewan
|
"Lo mau ngajarin gue soal kerjaan, hah?!" Jaka tak mau kalah, ia berjalan mendekati Rahmat, wajahnya sudah menunjukkan kemarahan yang sulit dibendung. "Lo aja tim lapangan lo nggak ada yang kerja! Tiap gue minta laporan, nggak ada data yang bener! Lo pikir medsos nggak penting? Gue yang bikin suara kita naik di mata anak muda, dan itu lebih banyak suara daripada semua kampanye door-to-door lo yang basi!"
Suasana semakin kacau. Kata-kata makin kasar dan menyakitkan mulai terlontar dari keduanya. "Kerjaan lo cuma duduk ngetik doang, Jaka! Nggak ada usaha buat turun ke lapangan! Lo cuma bisa bicara, nggak ada hasil!" Rahmat berteriak semakin kencang, memukul meja hingga beberapa dokumen berhamburan.
Jaka mendekat lebih jauh, kini tinggal beberapa inci dari Rahmat. "Lo cuma bisa ngabisin uang buat acara-acara nggak penting, makan-makan, bikin event besar tapi isinya kosong! Lo pikir itu cara naikin elektabilitas? Coba aja kalo lo ngerti cara kerja dunia digital!"
Di sudut ruangan, Andi, salah satu anggota tim yang lebih senior, mencoba menengahi, meski suaranya tenggelam di antara hiruk-pikuk pertengkaran. "Ayo dong, teman-teman, kita satu tim. Nggak bisa begini. Kita harus solid. Ini bukan waktunya saling serang!"
Namun, seruan Andi tak digubris. Rahmat dan Jaka terus saling maki, saling tunjuk, hingga suara mereka menggema ke seluruh ruangan. Para relawan yang tadinya sibuk dengan laptop dan rapat kecil kini malah menyaksikan pertunjukan dadakan dari dua orang penting di tim sukses itu.
"Lo nggak tau apa-apa soal lapangan! Semua orang di sini kerja keras, tapi lo cuma bisa ngetik dan ngeluh!" Rahmat makin emosi, nadanya semakin tinggi. Ia bahkan mulai meninju meja, membuat gelas-gelas kopi bergetar, isinya tumpah membasahi kertas-kertas di atas meja.
Jaka tak mau kalah. Ia balas dengan suara lebih tinggi lagi. "Lo pikir gue nggak kerja keras? Gue tidur cuma tiga jam sehari buat monitor medsos, gue bikin strategi konten buat kita viral, tapi tim lapangan lo malah bikin malu kampanye ini!"
Seisi ruangan tegang. Tak ada yang berani bicara atau melerai. Semua tampak khawatir bahwa pertengkaran ini akan berubah menjadi fisik. Beberapa dari tim mulai keluar dari ruangan, merasa tak nyaman dengan suasana yang makin memanas.
Tiba-tiba, pintu terbuka lebar. Ramlan, calon bupati yang seharusnya menjadi fokus dari semua orang di ruangan itu, masuk dengan wajah bingung dan kaget. "Apa-apaan ini?! Kenapa malah kalian yang ribut, bukannya mikirin kemenangan saya?!"
Namun, kemunculan Ramlan bukannya meredakan situasi. Justru semakin memantik api di antara Rahmat dan Jaka. Keduanya saling serang makin kencang, seolah-olah tak peduli bahwa calon bupati mereka berdiri tepat di hadapan mereka.
Rahmat menoleh ke Ramlan, sambil tetap menunjuk ke arah Jaka. "Pak Ramlan, tim medsos bapak ini yang bikin kacau! Kerjaan lapangan sudah saya atur, tapi mereka nggak bantu apa-apa! Tim ini nggak kompak karena dia!"
Jaka tak terima diserang begitu saja di depan calon bupati. "Jangan salahin tim medsos, Pak! Kerjaan lapangan yang justru nggak jelas! Semua spanduk di lapangan berantakan, nggak ada koordinasi yang bener!"
Ramlan hanya bisa menepuk jidatnya sendiri, merasa situasi ini semakin kacau. "Astaga! Yang mau jadi bupati siapa, sih? Saya atau kalian?"
Tapi Rahmat dan Jaka sudah terlalu emosi untuk mendengar nasihat. Keduanya terus saling serang, saling tuduh, saling maki, sampai-sampai lupa bahwa kemenangan Ramlan harusnya menjadi prioritas. Di tengah kegaduhan, tampak jelas: tim sukses yang seharusnya mendukung sang calon bupati, malah lebih heboh dari calonnya sendiri.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies untuk Semua
|
Jakarta, 01 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi