PEMERINTAHAN - Dalam catatan sejarah, kita sering kali mendengar bagaimana kerajaan-kerajaan besar di masa lalu runtuh bukan karena kekuatan musuh dari luar, melainkan dari dalam. Salah satu penyebab utama kehancuran mereka adalah kebijakan penguasa yang memberatkan rakyat, seperti pajak yang terlalu tinggi. Ketika beban pajak menjadi tidak tertanggungkan, rakyat yang awalnya pasrah akhirnya mencapai titik muak. Mereka bangkit, bersatu, dan melawan. Tidak peduli seberapa kuat kekuasaan kerajaan itu, ketika rakyat bergerak serempak, runtuhlah tahta yang dianggap sakral. Para raja dan keluarganya tidak hanya kehilangan takhta, tetapi juga lenyap tanpa jejak, musnah oleh amarah rakyat yang merasa tertindas.
Cerita ini, meski terjadi ratusan tahun yang lalu, memiliki relevansi yang luar biasa dengan situasi saat ini. Kenaikan pajak PPN menjadi 12% yang tengah ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial telah memicu gelombang ketidakpuasan yang serupa. Rakyat, yang sudah tertekan oleh berbagai kesulitan ekonomi, merasa ini adalah langkah yang tidak peka dan semena-mena. Apalagi kebijakan ini lahir dari undang-undang yang dirancang oleh rezim sebelumnya, sebuah rezim yang dianggap telah membuat Indonesia tenggelam dalam tumpukan utang dan berbagai kebijakan yang kontroversial. Dan kini, rezim baru yang melanjutkan kebijakan ini dianggap tak lebih dari penerus yang tidak peduli pada kesulitan rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang juga menjabat di era rezim sebelumnya, menjadi sorotan utama. Dengan dalih melaksanakan undang-undang, dia menaikkan PPN, tetapi publik tidak melupakan bahwa undang-undang itu lahir dari masa pemerintahan Jokowi. Alasan hukum mungkin ada, tetapi rakyat melihat ini sebagai bentuk pengabaian terhadap kondisi nyata mereka—bahwa kehidupan semakin sulit, daya beli menurun, dan beban pajak hanya akan memperparah penderitaan.
Perlawanan pun muncul dengan cepat dan masif. Media sosial seperti Facebook, Twitter X, dan TikTok menjadi medan tempur baru. Para tokoh berpengaruh, influencer, dan masyarakat biasa bergabung menjadi "vigilante virtual, " mengungkapkan kekesalan mereka dan membela rakyat yang tertekan. Seruan mereka menjadi nyaring, menciptakan gelombang solidaritas yang melintasi kelas sosial dan daerah. Jika momentum ini terus terjaga, tidak mustahil isu ini menjadi bola salju yang semakin besar, menghantam pusat-pusat kekuasaan seperti Istana dan DPR/MPR.
Situasi ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap rezim sebelumnya, yang dianggap meninggalkan beban utang dan kebijakan pajak yang kontroversial, dapat dengan mudah berpindah menjadi ketidakpuasan terhadap rezim saat ini. Apalagi, wajah-wajah di balik kebijakan ini masih sama. Ketidakadilan yang dirasakan rakyat, di mana mereka yang kesulitan ekonomi terus ditarik pajak sementara para pejabat terduga koruptor masih duduk nyaman di kursi kekuasaan, menjadi api yang membakar emosi publik.
Ketika rakyat merasa tidak didengar dan diperlakukan tidak adil, kata "lawan" menjadi seruan bersama. Sejarah mengajarkan, kekuatan rakyat yang marah tidak bisa diremehkan. Sebuah kebijakan yang dianggap tidak adil, jika terus dipaksakan, bisa menjadi katalis perubahan yang besar, bahkan mengguncang struktur kekuasaan itu sendiri. Inilah suara rakyat yang tidak bisa lagi dibungkam.
Baca juga:
Bupati Rokan Hilir Kukuhkan 590 Pejabat
|
Jakarta, 22 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi