PEMERINTAHAN - Mental inlander merupakan istilah yang merujuk pada cara berpikir kolonial yang bercampur dengan rasa rendah diri. Dalam konteks ini, mental inlander menggambarkan kecenderungan untuk lebih mengagumi, membeli, dan menggunakan produk luar negeri dibandingkan memproduksi atau mengembangkan produk lokal. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan inferioritas psikologis, tetapi juga memiliki implikasi luas pada perekonomian, kemandirian bangsa, dan pembangunan karakter kepemimpinan nasional.
Mental Inlander: Sebuah Warisan Kolonial
Mental inlander adalah residu kolonialisme yang membuat bangsa Indonesia merasa tidak percaya diri dengan kemampuan dan potensi lokalnya. Pada masa penjajahan, bangsa pribumi kerap dianggap sebagai golongan inferior oleh penjajah, yang memosisikan produk dan budaya asing sebagai sesuatu yang lebih unggul. Akibatnya, mentalitas ini menjadi kebiasaan turun-temurun, di mana masyarakat lebih memilih produk luar negeri sebagai simbol status, kualitas, dan modernitas.
Kondisi ini berlanjut hingga era modern. Banyak masyarakat yang merasa ragu akan kualitas produk dalam negeri. Mereka menganggap bahwa barang buatan lokal tidak mampu bersaing dengan produk luar, baik dari segi mutu maupun nilai komersial. Pola pikir seperti ini menjadi salah satu penghambat utama bagi pertumbuhan industri lokal, yang akhirnya terus bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Pemimpin Bermental Inferior: Masalah Kepemimpinan dan Visi
Mental inlander tidak hanya mengakar dalam pola pikir masyarakat, tetapi juga sering terlihat dalam pengambilan keputusan oleh pemimpin-pemimpin negara. Alih-alih memberdayakan potensi lokal, banyak pemimpin lebih memilih pendekatan yang bergantung pada investasi asing dan impor. Logika yang digunakan adalah bahwa Indonesia membutuhkan bantuan pihak luar untuk maju, tanpa memberikan perhatian serius pada penguatan fondasi ekonomi nasional.
Misalnya, alih-alih memprioritaskan pengembangan teknologi lokal atau memaksimalkan sumber daya manusia Indonesia, sebagian besar kebijakan lebih fokus pada menarik investor asing. Narasi seperti "kita tidak mampu", "tidak ada teknologi", atau "tidak ada dana" sering digunakan sebagai pembenaran untuk mengabaikan pengembangan potensi dalam negeri. Akibatnya, Indonesia tetap menjadi pasar bagi negara-negara maju, bukan pemain utama dalam ekonomi global.
Menjadi Bangsa yang Mandiri: Membangun Mental Petarung
Sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah dan populasi besar, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara yang mandiri dan berdaya saing tinggi. Untuk mencapai hal tersebut, perubahan mentalitas dari "inferior" menjadi "petarung" mutlak diperlukan. Mental petarung adalah pola pikir yang percaya diri terhadap kemampuan lokal, gigih dalam menghadapi tantangan, dan berani mengambil risiko untuk menciptakan inovasi baru.
Mental petarung ini harus dimulai dari para pemimpin. Pemimpin yang memiliki visi besar dan keberanian untuk memberdayakan industri lokal akan mampu mendorong masyarakatnya keluar dari bayang-bayang mental inlander. Misalnya, Jepang dan Korea Selatan pernah berada dalam posisi yang mirip dengan Indonesia, tetapi mereka berhasil keluar dari ketergantungan pada negara lain dengan memprioritaskan pendidikan, inovasi teknologi, dan penguatan budaya lokal. Mereka tidak hanya berusaha memproduksi barang sendiri, tetapi juga menciptakan identitas nasional yang kuat melalui produknya.
Mendobrak Ketergantungan pada Impor dan Investasi Asing
Ketergantungan pada impor dan investasi asing merupakan dampak nyata dari mentalitas inferior. Meski investasi asing dapat menjadi katalis pembangunan, terlalu mengandalkannya justru membuat perekonomian menjadi rentan. Oleh karena itu, pemerintah harus fokus pada strategi jangka panjang yang mendorong kemandirian, seperti:
Baca juga:
Bupati Inhu Lantik 18 Kades Terpilih
|
1. Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Teknologi: Mengembangkan institusi riset dan teknologi yang mendukung inovasi lokal.
2. Mendorong Wirausaha Lokal: Memberikan insentif kepada UMKM dan pelaku industri kreatif untuk bersaing di pasar global.
3. Memupuk Rasa Cinta Produk Lokal: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mendukung produk buatan dalam negeri.
4. Kebijakan Proteksi dan Insentif: Melindungi industri lokal dari persaingan tidak sehat dengan barang impor.
Mental inlander adalah salah satu hambatan terbesar bagi kemandirian bangsa Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan perubahan mentalitas di berbagai lini masyarakat, khususnya di tingkat pemimpin nasional.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang bermental petarung, yang mampu menggerakkan potensi lokal, percaya pada kemampuan bangsanya, dan berani mengambil langkah-langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada pihak asing.
Dengan demikian, Indonesia dapat bertransformasi menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat, dan dihormati di kancah internasional.
HhhJakarta, 22 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi