EKONOMI - Dulu, penjajahan datang membawa panji-panji perang, bedil, dan meriam. Mereka datang dengan kapal besar, berseragam, dan penuh arogansi. Tanah kita diambil paksa, hasil bumi dijarah, dan rakyat dijadikan buruh murah untuk kejayaan mereka di seberang lautan. Tapi itu dulu. Kini penjajahan tidak lagi menghunus pedang, tetapi menyeret koper besar berlabel “investasi”. Mereka tidak lagi memukul rakyat kecil dengan cambuk, tetapi mengikat ekonomi kita dengan utang dan ketergantungan. Apakah kita sungguh merdeka, atau hanya berpindah dari satu bentuk penjajahan ke bentuk lainnya?
Mari kita lihat kenyataan ini secara jujur. Mereka datang menawarkan investasi dengan janji manis: pembangunan, kemakmuran, dan kesempatan kerja. Tapi di balik senyuman diplomatik itu, tersimpan kepentingan besar yang menjerat bangsa ini dalam lingkaran eksploitasi. Mereka mendirikan pabrik, tambang, dan perusahaan raksasa yang seolah membawa kemajuan. Namun, jika kita membuka mata lebih lebar, akan tampak bahwa yang mereka bangun bukanlah kesejahteraan untuk kita, melainkan mesin pemompa kekayaan yang mengalir deras ke negara mereka sendiri.
Baca juga:
Muhaimin Iskandar Dukung Kripto Kena Pajak
|
Menghisap Sumber Daya, Membayar dengan Janji Kosong
Apa yang mereka cari di sini? Jawabannya sederhana: kekayaan alam kita. Emas, minyak, batu bara, nikel, gas, bahkan hasil bumi seperti kelapa sawit dan karet. Semua itu menjadi alasan mereka “berinvestasi”. Dengan dalih memajukan negeri, mereka menggali perut bumi ini tanpa henti, mengeruk hasilnya, dan meninggalkan kerusakan lingkungan yang harus kita tanggung.
Para pekerja kita hanya mendapat upah rendah, bahkan sering di bawah standar hidup layak. Mereka bangga membuka lapangan kerja, tapi apa artinya pekerjaan jika penghasilan tidak cukup untuk membeli produk yang mereka buat? Ya, barang yang dihasilkan dari tanah kita dijual kembali kepada kita dengan harga tinggi—seolah-olah kita berhutang budi kepada mereka karena telah menggunakan barang dari sumber daya kita sendiri.
Transfer Teknologi: Janji yang Tidak Pernah Datang
Satu lagi janji manis yang sering kita dengar adalah transfer teknologi. Katanya, investasi ini akan membawa ilmu baru, meningkatkan kemampuan tenaga kerja lokal, dan membangun industri berbasis teknologi tinggi di Indonesia. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Mesin-mesin canggih itu datang tanpa manual untuk kita pelajari. Para pekerja kita hanya ditempatkan sebagai operator, bukan inovator. Sementara itu, tenaga ahli dari negara mereka yang tetap memegang kendali, memastikan kita tidak pernah benar-benar mandiri.
Apakah ini bukan penjajahan dalam bentuk baru? Sama seperti masa kolonial dulu, mereka ingin kita tetap bergantung, tetap tertinggal, dan tetap menjadi pasar yang menguntungkan bagi mereka.
Sejarah yang Berulang: Dari Kumpeni ke Korporasi
Jika kita melihat kembali ke masa kolonial, pola ini terasa tidak asing. Pada zaman VOC, kumpeni Belanda mendirikan monopoli dagang. Mereka menguasai rempah-rempah kita, menjadikan rakyat sebagai pekerja murah, dan mengirimkan hasil bumi kita ke pasar dunia untuk memperkaya diri. Kini, perusahaan multinasional mengambil peran yang sama, hanya dengan wajah lebih modern dan strategi yang lebih halus.
Mereka menggunakan istilah-istilah keren seperti globalisasi dan kemitraan strategis. Tetapi intinya tetap sama: kita menjadi koloni ekonomi. Mereka yang menentukan harga, mereka yang menguasai teknologi, dan mereka yang mengambil keuntungan terbesar. Kita? Kita hanya diberi remah-remah di meja, cukup untuk sekadar bertahan hidup dan tidak berontak.
Pembangunan atau Perangkap?
Pembangunan infrastruktur sering dijadikan alasan utama untuk menerima investasi luar negeri. Jalan raya, pelabuhan, pembangkit listrik—semuanya dibangun dengan uang mereka. Tapi apa konsekuensinya? Utang yang harus kita bayar dengan bunga besar, sementara sebagian besar keuntungan dari proyek tersebut kembali ke mereka, bukan ke kita.
Yang lebih menyakitkan, kita dipaksa menerima syarat-syarat yang menguntungkan mereka. Contohnya, penghapusan proteksi terhadap industri lokal, sehingga produk mereka dapat membanjiri pasar kita tanpa persaingan berarti. Usaha kecil dan menengah kita pun tersingkir, kalah oleh produk impor yang lebih murah tetapi mengandung jerat ekonomi jangka panjang.
Bangun, Bangsa yang Besar!
Kini pertanyaannya adalah: sampai kapan kita akan membiarkan ini terjadi? Apakah kita akan terus menjadi budak ekonomi di tanah sendiri? Merdeka bukan hanya soal mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Merdeka berarti menjadi tuan di rumah sendiri, mengelola sumber daya kita dengan bijak, dan memastikan rakyat kita hidup sejahtera tanpa ketergantungan kepada bangsa lain.
Sudah saatnya kita membuka mata dan memahami bahwa investasi tanpa kedaulatan hanyalah bentuk penjajahan gaya baru. Kita harus berdiri tegak, menolak menjadi koloni ekonomi. Kita harus memperjuangkan teknologi kita sendiri, mendukung pengusaha lokal, dan membangun sistem ekonomi yang benar-benar adil untuk seluruh rakyat.
Sejarah adalah guru terbaik, tetapi hanya jika kita mau belajar darinya. Jangan biarkan pola penjajahan ini terus berulang. Masa depan ada di tangan kita, jika kita berani mengambilnya. Indonesia adalah negeri yang besar, dan sudah saatnya kita bertindak seperti bangsa yang besar.
Bangkitlah, Indonesia! Jangan hanya menjadi penonton dalam permainan yang dimainkan di tanah airmu sendiri.
Jakarta, 20 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi