JAKARTA - Penegakan hukum lingkungan hidup tidaklah mudah karena kerap berbenturan antara pembangunan dengan mempertahankan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Hakim Agung, Dr. Prim Haryadi mengulasnya secara teori dan empiris dari putusan pengadilan yang berkaitan dengan sejumlah perkara terkait hukum lingkungan hidup dalam bukunya yang berjudul "Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Perdata."
Buku ini merupakan desertasi Dr. Prim 3 tahun lalu saat menjalani studi doktoral di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Kala itu, dia masih menjabat sebagai panitera muda perdata di Mahkamah Agung (MA) sekaligus Anggota Kelompok Kerja Lingkungan.
Selanjutnya sebagai seorang Hakim, Dr. Prim juga mempunyai pengalaman memutus 2 perkara lingkungan hidup yakni di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara dan PN Jakarta Selatan.
Baca juga:
Team Bening's Inhu Adakan Gathering
|
“Pengalaman itu membuat saya terdorong untuk menulis buku ini, ” ujar Prim Haryadi dalam kegiatan acara peluncuran dan bedah buku berjudul Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Perdata di Jakarta, Jumat (1/4/2022).
Dr. Prim menyebutkan lingkungan hidup adalah bagian dari HAM. Tapi praktiknya antara pembangunan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang bersih dan sehat sering berbenturan.
Secara umum, buku adalah perpaduan antara teori lingkungan hidup dan praktiknya terutama yang tercermin dalam putusan pengadilan. Penegakan hukum lingkungan bisa menggunakan mekanisme TUN, pidana, dan perdata.
Menurut Dr. Prim, hukum lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia, jika dilihat dari putusan pengadilan dan sertifikasi hakim lingkungan hidupnya selama sudah berjalan di lingkungan peradilan.
"Indonesia patut bersyukur karena punya perhatian terhadap hukum lingkungan hidup, salah satunya melalui penyelenggaraan sertifikasi hakim lingkungan, " jelas Dr. Prim.
"Peran hakim sangat penting dalam penegakan hukum lingkungan, bahkan beberapa putusan diantaranya bisa disebut fenomenal. Misalnya, dalam perkara gugatan Walhi terhadap PT Indorayon Utama tahun 1988. Perkara itu merupakan kali pertama pengadilan mengakui legal standing organisasi masyarakat sipil yang fokus di bidang lingkungan hidup, " lanjut Dr. Prim.
Lebih jauh, Dr. Prim dalam bukunya mengupas soal prinsip/asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum lingkungan hidup.
Terkait pembuktian, Dr. Prim mengakui sangat sulit untuk menghadirkan pembuktian dalam kasus lingkungan hidup. Tapi melalui konsep strict liability dapat dibuktikan adanya kerugian dan kerusakan lingkungan hidup, kemudian dikaitkan dengan asas kausalitas (sebab-akibat).
Dalam perkara lingkungan hidup di PN Jakarta Selatan, Dr. Prim mengungkap pendapat yang disampaikan sahabat pengadilan (amicus curiae) digunakan sebagai pertimbangan hakim. Bahkan putusan yang mengutip amicus curiae itu diperkuat sampai tingkat peninjauan kembali (PK).
Bagian terakhir bukunya, Dr. Prim menjelaskan tentang penghitungan ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan hidup. Hal tersebut merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi dalam menangani perkara lingkungan hidup. Melihat praktik di luar negeri, kegiatan pemulihan lingkungan hidup dilakukan oleh organisasi yang fokus pada lingkungan hidup.
Misalnya, sebuah putusan perkara lingkungan hidup yang diputus Pengadilan Negeri Banda Aceh memerintahkan pemulihan itu dilakukan dinas lingkungan hidup setempat.
“Penghitungan ganti rugi dan pelaksanaan pemulihan lingkungan hidup ini hal yang menarik dalam menangani perkara lingkungan hidup, ” katanya.
Peluncuran buku ini diapresiasi sejumlah pimpinan Lembaga, salah satunya Ketua MA, M. Syarifuddin.
Menurut Dr. Syarifuddin, Buku ini berisi perpaduan antara teori dan praktik, sehingga mampu memberikan gambaran jelas bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup di pengadilan.
“Tidak heran karena memang penulisnya adalah hakim yang berpengalaman menangani perkara terutama lingkungan hidup, ” jelas Ketua Mahkamah Agung, Dr Syarifuddin. (hukumonline.com)